BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund
(IMF) adalah organisasi internasional yang
bertanggungjawab dalam mengatur sistem finansial global dan menyediakan
pinjaman kepada negara anggotanya untuk membantu masalah-masalah keseimbangan
neraca keuangan masing-masing negara.
Lembaga ini
mempunyai jumlah anggota sebanyak 182 negara. Salah satu misinya adalah
membantu negara-negara yang mengalami kesulitan ekonomi yang serius, dan
sebagai imbalannya, negara tersebut diwajibkan melakukan kebijakan-kebijakan
tertentu, misalnya privatisasi badan usaha
milik negara. Dalam hal ini lembaga ini berupaya menstabilkan keuangan dan
ekonomi melalui upaya peminjaman sebagai bantuan keuangan yang temporer, guna meringkan
penyesuaian neraca pembayaran. Negara dalam keadaan kerisis secara tidak langsung
akan meminjam uang dari IMF yang di motori oleh Negara-negara adi kuasa.
IMF berdiri dari hasil pertemuan (konferensi)
Bretton Words, sebuah kota kecil di wilayah New Hampshire, Amerika Serikat,
Juli 1944. Lembaga ini menjadi pasangan IBRD (Internasional Bank for
Reconstruction and Development) atau yang sering disebut sebagai bank dunia
(World Bank). Lembaga ini sekarang berpusat di Wasington DC, Amerika.
Pada
pemerintahan soekarno yaitu pada tahun 1962, delegasi IMF mengirim sodoran
proposal untuk pemberian dana bantuan kepada Indonesia sebesar USD 17 juta,
Indonesia baru merasakan pinjamanannya pada maret tahun 1963 dan dalam dua bulan kemudian pemerintah
Indonesia mengumumkan rangkaian kebijakan ekonomi baru (devaluasi rupiah, anggaran
negara yang ketat dan pemotongan subsidi) yang selaras dengan resep kebijakan
IMF.
Pada Krisis multidimensi yang terjadi di
Asia pada tahun 1997 merupakan kejadian yang sangat nahas bagi negara-negara di
kawasan tersebut. Nilai mata uang negara-negara di kawasan Asia ini turun
dengan cepat dan drastis. Sebut saja Thailand (baht), Malaysia (ringgit),
Singapura (dolar Singapura), Indonesia (rupiah), dan Korea Selatan (won).
Indonesia merupakan negara yang terkena dampak paling parah, nilai rupiah yang biasanya
ada di kisaran Rp 2.600,00 pada waktu itu bisa mencapai Rp 17.000,00. Bila
dilihat dalam hitungan persen Korea Selatan mengalami penurunan -39,0% untuk
(won), Thailand -37,5% untuk (baht), dan Indonesia -73,9% untuk (rupiah).
Penurunan nilai rupiah ini berakibat pada penggelembungan hutang luar negeri
yang berdampak pada kebangkrutan perusahaan-perusahaan yang tidak sanggup
membayar hutang dalam bentuk mata uang asing karena jumlahnya yang meningkat
menjadi 4 – 7 kali lipat. Jadi dapat dikatakan krisis yang terjadi di Indonesia
pada tahun 1997/1998 berdampak sistemik.
Sebenarnya penurunan rupiah ini
mempunyai dampak positif dan negatif. Dampak positifnya paling dirasakan oleh
para eksportir. Hal ini karena ketika nilai rupiah turun, barang dagangan mereka
laku keras. Maksudnya dengan menurunnya nilai rupiah berarti barang-barang
Indonesia menjadi murah di mata orang asing dan permintaan akan barang-barang
Indonesia menjadi meningkat di dunia. Meskipun mempunyai dampak positif, dampak
negatifnya jauh lebih banyak. Pendapatan per kapita dalam hitungan dolar AS
turun sekejap dari $ 1.115 menjadi $ 300 – 400 pada puncak krisis, dan utang
luar negeri (pemerintah dan swasta) naik beberapa kali lipat. Pada akhir
Desember 1997, utang luar negeri pemerintah Indonesia mencapai $ 137,42 milliar
dan utang swasta $ 73,96 milliar.
Hak tersebut tidak terjadi di
Indonesia saja tapi di Negara-negara besar lainnya. Bila dilihat sekarang
keadaan rupiah dan mata uang lain tidak ada perubahaan yang berarti padahal
tahun 1997 sudah lama telalui. Dan ini secara tidak langsung IMF terasa gagal
untuk menanggulai krisis di Indonesia secara khususnya dan di luar negri secara
umumya.
1.2 Rumusan
Masalah
Disini
penulis akan membatasi masalah apa yang akan penulis bahas agar permasalahan
yang tejadi tidak melebar kemana-mana. masalah yang akan penulis bahas terkait
dari latar belakang diatas. Maka penulis ingin mempembahas
permasalahan-masalahan seperti :
a. apa
penyebab krisis yang dilanda sebuah Negara?
b. apa yang menjadi tujuan,
maksud, dan kebijakan dari IMF?
c. kegagalan
yang dilakukan oleh IMF?
1.3 Maksud
dan Tujuan
Maksud
dan tujuan dari penulis adalah agar para pembaca dapat mengetahui apa yang
menjadi kegagalan IMF dalam menangani krisis yang dilanda sebuah Negara.
Tidak hanya itu tujuan penulis menulis makalah
ini. Akan tetapi sebagai salah satu tugas mata kuliah lembaga keuangan dan non
bank. Yang dimana tugas ini menjadi salah objek penilaian dalam Indeks Prestasi
penulis.
semoga hasil
makalah yang sudah penulis dapat menjelaskan peranan IMF terhadap Indonesia.
Sehingga banyak para pembaca yang terinspiransi dalam penulisan yang telah
dibuat oleh penulis.
BAB 2
TEORI YANG
DIGUNAKAN
2.1 TEORI MODERNISASI
Modernisasi
diartikan sebagai proses transformasi. Dalam rangka mencapai status modern,
struktur dan nilai-nilai tradisional secara total diganti dengan seperangkat
struktur dan nilai-nilai modern. Modernisasi merupakan proses sistematik.
Modernisasi melibatkan perubahan pada hampir segala aspek tingkah laku sosial,
termasuk di dalamnya industrialisasi, diferensiasi, sekularisasi, sentralisasi
dsb.
Ciri-ciri pokok teori modernisasi:
1. Modernisasi merupakan proses bertahap.
2. Modernisasi juga dapat dikatakan
sebagai proses homogenisasi.
3. Modernisasi
terkadang mewujud dalam bentuk lahirnya, sebagai proses Eropanisasi dan
Amerikanisasi, atau modernisasi sama dengan Barat.
4. Modernisasi juga dilihat sebagai proses
yang tidak bergerak mundur.
5. Modernisasi merupakan perubahan
progresif
6. Modernisasi
memerlukan waktu panjang. Modernisasi dilihat sebagai proses evolusioner, dan
bukan perubahan revolusioner.
Implikasi
kebijaksanaan pembangunan yang perlu diikuti Dunia Ketiga dalam usaha
memodernisasikan dirinya:
a. Negara
Dunia Ketiga perlu melihat dan menjadikan Amerika Serikat dan
negara-negara Eropa Barat sebagai model dan
panutan.
b. Teori
modernisasi menyarankan agar Dunia Ketiga melakukan pembangunan ekonomi,
meninggalkan dan mengganti nilai-nilai tradisional, dan melembagakan demokrasi
politik.
c. Teori
modernisasi mampu memberikan legitimasi tentang perlunya bantuan asing, khususnya
dari Amerika Serikat.
Dunia
Ketiga membutuhkan investasi produktif dan pengenalan nilai-nilai modern, maka
AS dan negara maju lainnya dapat membantu dengan mengirimkan tenaga ahli,
mendorong para pengusaha untuk melakukan investasi di luar negeri, dan
memberikan bantuan untuk negara Dunia Ketiga.
Ada
beberapa varian teori Modernisasi, diantaranya teori Harrod-Domar, teori
McClelland, teori Weber, teori Rostow, teori Inkeles. Permasalahan IMF dalam
paper ini lebih mengarah pada teori Rostow. Rostow menyebutkan jika satu negara
hendak mencapai pertumbuhan ekonomi yang otonom dan berkelanjutan, maka negara
tersebut harus memiliki struktur ekonomi tertentu. Umumnya permasalahan yang
dimiliki negara Dunia Ketiga dalam mencapai tingkat investasi produktif yang
tinggi, adalah keterbatasan sumber daya modal. Rostow memberi jawaban atas
permasalahan yang dihadapi Dunia Ketiga mengenai kecilnya dana investasi
produktif, yaitu pada kemungkinan penyediaan bantuan asing, yang berupa bantuan
modal, teknologi, dan keahlian, bagi negara Dunia Ketiga.
Satu
kekurangan Rostow adalah kurang memperhatikan akibat sampingan yang harus
dialami Dunia Ketiga, ketika akan berusaha dan mencapai waktu kritis untuk
tinggal landas. Rostow tidak menjelaskan secara rinci akibat politik dari derap
lajunya upaya pembangunan ekonomi yang terkadang, dan dipaksa untuk melakukan
percepatan.
2.2 TEORI DEPENDENSI
Teori
Modernisasi melihat permasalahan pembangunan lebih banyak dari sudut
kepentingan Amerika Serikat dan negara maju lainnya. Sedangkan teori dependensi
memiliki posisi yang sebaliknya. Teori ini lebih menitikberatkan pada persoalan
keterbelakangan dan pembangunan negara Dunia Ketiga. Teori dependensi mewakili
“suara negara-negara pinggiran” untuk menentang hegemoni ekonomi, politik,
budaya, dan intelektual dari negara maju.
Asumsi dasar para penganut aliran dependensi yang dipakai dalam paper ini:
1.
Permasalahan
ketergantungan lebih dilihat sebagai masalah ekonomi, yang terjadi akibat
mengalirnya surplus ekonomi dari negara Dunia Ketiga ke negara maju.
2.
Situasi
ketergantungan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses polarisasi
regional ekonomi global. Di satu pihak, mengalirnya surplus ekonomi dari Dunia
Ketiga menyebabkan keterbelakangannya, sementara hal yang sama menjadi faktor
yang mendorong lajunya pembangunan di negara maju.
Teori
dependensi juga mendapatkan kritik karena rumusan kebijaksanaan yang diajukan
teori dependensi tidak jelas. Rumusan tersebut tidak menjelaskan secara detail
bagaimana Dunia Ketiga harus bertindak. Kekurangan ini diperbaiki dalam teori
dependensi baru. Teori dependensi baru telah dengan sadar memberikan perhatian
pada kemungkinan untuk munculnya ciri ketergantungan yang unik dan khas secara
historis. Negara Dunia Ketiga tidak lagi dipandang hanya semata-mata sebagai
negara yang bergantung pada asing, tetapi sebagai aktor yang aktif secara
cerdik berusaha untuk bekerja sama dengan modal domestik dan modal
internasional.
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1
Penyebab Terjadinya Krisis
Lalu
dari latar belakang di atas, apa yang dilakukan IMF selaku organisasi yang
bertugas sebagai pengatur sistem keuangan dan sistem nulai tukar internasional
dalam mengeluarkan Indonesia dari krisis ini? Sebelum mengetahui
langkah-langkah IMF? Apakah berdampak baik atau malah menambah beban Indonesia?
Kita perlu mengetahui apa yang menyebabkan negara-negara di Asia pada tahun
1997-1998 mengalami krisis ekonomi melalui pendekatan teoritis, serta peran dan
fungsi dari IMF itu sendiri!
Ada tiga pendekatan yang dapat
digunakan untuk menjelaskan tentang krisis ekonomi yaitu: pendekatan Generasi
Pertama, pendekatan Generasi Kedua, dan pendekatan Generasi Ketiga.
Pendekatan Generasi Pertama
dikembangkan oleh Krugman (1979) dan Flood & Garber (1984), yang
mendasarkan analisis pada kondisi ketidakseimbangan fiskal yang cenderung tidak
stabil, sehingga menjadi pemicu serangan terhadap mata uang. Pendekatan ini
mengasumsikan Bank Sentral cenderung melakukan monetisasi defisit fiskal
melalui pemberian kredit dalam negeri, sementara pada saat yang sama berupaya
mempertahankan nilai tukat tetap. Dengan kondisi ini cadangan devisa yang
terbatas, ekspetasi akan terjadinya devaluasi telah mendorong tindakan para
spekulan untuk menyerang mata uang dan menguras cadangan devisa di Bank
Sentral.
Pendekatan Generasi Kedua,
dikembangkan oleh Diamond & Dybvig (1983) yang mendasarkan analisisnya pada
kondisi trade-off yang dihadapi pemerintah, yakni antara mempertahankan nilai
tukar tetap (fixed exchange rate system) dan menetapkan kebijakan moneter
ekspansif untuk mempertahankan nilai tukat tetap, para spekulan akan cenderung
menyerang apabila ada indikasi kurangnya komitmen pemerintah untuk
mempertahankan nilai tukar tersebut. Dalam kasus ini, krisis dipicu oleh
memburuknya kondisi fundamental perekonomian, seperti pertumbuhan yang multiple
equlibirium. Negara yang mempunyai fundamental ekonomi lemah cenderung
mengalami krisis, sebaliknya yang memiliki fundamental ekonomi kuat cenderung
terhindar dari krisis, sedangkan yang berada di antaranya dapat mengalami
self-fulfilling speculative expectation.
Pendekatan Generasi Ketiga,
dikembangkan oleh Krugman (1998) dan Corsetti, dkk, (1998), yang memasukkan
peran moral hazard induced investment dalam menganalisis faktor-faktor penyebab
krisis. Moral hazard terjadi karena adanya persepsi bahwa pemerintah selalu
siap menjamin atau menalangi perusahaan swasta yang menghadapi masalah. Oleh
karena itu, terjadi excessive investment/lending dan excessive borrowing.
Akibatnya, terjadi akumulasi utang sektor swasta dalam jumlah cukup besar.
Dalam kondisi perekonomian yang buruk, pemerintah tidak bisa tergantung pada
penerimaan pajak untuk membiayai krisis, dan cenderung menutupi defisit dari
seignorage revenues. Hal ini akan membentuk expectations of future
inflanationary yang pada gilirannya memicu serangan yang spekulatif terhadap
mata uang.
Menurut Miranda S. Goeltom, seperti
yang dikutip oleh Deliarnov, krisis yang terjadi di Indonesia dan negara-negara
Asia Timur lainnya lebih bisa dijelaskan oleh teori pendekatan generasi ketiga
yang dikembangkan oleh Krugman dan Corsetti, di samping memang ada unsur
kesengajaan oleh pihak-pihak yang melakukan kejahatan di pasar modal, pada
nilai tukar mata uang asing (valas), dan pada instrumen keuangan. Daya rusak
yang dapat ditimbulkan oleh para spekulan sangatlah dahsyat. Dana yang mereka
miliki dapat mencapai ratusan milliar Dolar AS dengan kemungkinan leverage atau
dapat meminjam sepuluh kali lipat untuk dipertaruhkan di pasar uang yang
bekerja 24 jam sehari. Spekulan yang paling ditakuti di dunia adalah George
Soros dengan Quantum Fund-nya. Mereka inilah yang menyebabkan merosotnya
poundsterling Inggris tahun 1992, peso Meksiko tahun 1995, baht Thailand,
rupiah Indonesia, won Korea tahun 1997/1009, rubel Rusia tahun 1998, dan peso
Argentina tahun 2002.
Sedangkan Bob Sugeng Hadiwinata di
dalam bukunya mengutip dari pendapat para pakar ekonomi mengidentifikasi ada 3
hal yang menyebabkan krisis ekonomi, yakni:
1. Fenomena Productivity Gap (Kesenjangan
Produkitivitas).
Negara Asia mengalami kesenjangan
produktivitas dikarenakan lemahnya pengalokasian aset-aset akibat mekanisme
pasar yang tidak berfungsi dengan baik. Di dalam kompetisi internasional
negara-negara Asia terlalu bertumpu pada “pengontrolan harga” produk dan
mengabaikan pentingnya penguasaan teknologi untuk memobilisasi perpindahan ke
sektor yang berteknologi tinggi. Kecenderungan negara-negara Asia untuk
menganut prinsip economies of scale (skala ekonomi), yakni peningkatan produksi
dan daya ekspor untuk menguasai pasar dunia, telah membawa mereka ke suatu
“jebakan”, yakni tingkat kompetisi sesama negara Asia yang super ketat sehingga
mendorong terjadinya perang harga. Akibat lain dari praktek economies of scale
ini adalah jenuhnya permintaan pasar intenasional yang menyebabkan penurunan
ekspor pada hambatan setiap negara Asia.
2. Fenomena Disequilibrium Trap (Jebakan
Ketidakseimbangan)
Francois Godement mengaitkan Krisis
Asia 1997 dengan fenomena “Jebakan Ketidakseimbangan”, yakni situasi dimana
negara-negara terjebak ke dalam ketidakseimbangan antara pertumbuhan
kuantitatif dengan perkembangan kualitatif proses produksi. Menurutnya, ketidakseimbangan
dalam proses produksi mengakibatkan kecenderungan pemborosan dana untuk
membiayai pola hidup yang konsumtif sehingga pengadaan modal dalam negeri
menjadi sangat terbatas . Pada dekade 1990-an, negara-negara Asia (kecuali
Jepang) masih belum mampu membangun struktur pemerintahan yang kondusif bagi
mekanisme pasar dan gagal menanamkan perilaku rasional di kalangan warganya. Di
samping itu, ketika terjadi lonjakan harga real estate dan inflasi di pelbagai
sektor, pemerintah juga tidak mampu untuk meredam permintaan yang terus
meningkat dari waktu ke waktu. Negara-negara Asia mengalami tekanan defisit
dari dua sisi: dari sisi neraca pembayaran dan national saving (tabungan
nasional, yakni jumlah tabungan lebih kecil daripada jumlah yang dibutuhkan untuk
investasi). Praktek “politik uang” dengan menggunakan uang rakyat untuk
keperluan pembelian dukungan politik inilah yang makin memperburuk kondisi
infrastruktur ekonomi beberapa negara Asia. Dalam hal ini, negara menghadapi
tekanan defisit dari sisi anggaran belanja (pengeluaran yang lebih besar
daripada pemasukan).
3. Fenomena Loan Addiction (Ketergantungan
Kepada Hutang Luar Negeri)
Faktor lain yang ikut mendorong
terjadinya Krisis Asia 1997 adalah kecenderungan para pelaku bisnis di beberapa
negara Asia untuk meminjam dalam bentuk valuta asing kepada lembaga-lembaga
keuangan asing. Dalam keadaan nilai tukar mata uang lokal yang sangat
fluktuatif, peminjaman besar-besaran dalam bentuk valuta asing oleh para ekonom
disebut sebagai suatu tindakan yang “surealis” (sangat tidak masuk akal).
Risiko dari sikap loan addiction dalam bentuk valuta asing ini bagi
perekonomian nasional cukup tinggi. Pertama, kecenderungan loan addiction akan
memunculkan fenomena non-performing loan (yakni, pinjaman yang tidak digunakan
untuk kegiatan produktif). Kedua, ketika mata uang lokal mengalami krisis nilai
tukar, maka beban hutang valuta asing perusahaan menjadi membengkak. Dalam
keadaan seperti ini perusahaan menghadapi dua pukulan: (1) kecenderungan
terjadinya non-performing loan akibat penurunan skala aktivitas perusahaan, dan
(2) lonjakan beban hutang akibat perbedaan nilai tukar mata uang.
3.2 Tujuan
dan Tugas Utama IMF
Setelah kita sudah mengetahui
penyebab-penyebab krisisnya, selanjutnya kita harus mengetahui juga apa fungsi
dan tugas utama dari IMF, sebagai organisasi internasional yang pada waktu
krisis 1997/1998 “berusaha” untuk membantu Indonesia keluar dari keadaan kelam
tersebut.
IMF (International Monetary Fund)
terbentuk secara resmi sejak tahun 1944, namun pertamuan pertama baru dilakukan
pada tanggal 27 Desember 1945. Dalam pertemuan pertama baru 29 negara yang
menghadirinya, dan baru setelah itu jumlah anggotanya bertambah hingga pada
tahun 2000 mencapai 182 negara. Peran yang dilakukan oleh IMF dalam kancah perekonomian
dunia dalam menangani negara-negara yang mengalami krisis adalah dengan cara
membantu memulihkan dan memperkuat sistem keuangan negara-negara tersebut
secepat mungkin. Tujuan utama IMF dalam hal ini adalah untuk memperbaiki
keadaan sesegera mungkin untuk menciptakan stabilitas moneter dunia,
sebagaimana dinyatakan di dalam Statuta IMF, bahwa: “IMF dibentuk untuk
mempromosikan kerja sama moneter internasional; untuk memfasilitasi
kelangsungan dan perkembangan perdagangan internasional; mempromosikan
stabilitas nilai tukar mata uang; memfasilitasi pembentukan sistem pembayaran
multilateral; menyediakan dana taktis untuk disalurkan kepada negara-negara
yang sedang mengalami krisis neraca pembayaran dengan syarat-syarat tertentu;
dan untuk mengurangi kecenderungan disequilibrium neraca pembayaran
negara-negara anggotanya. ”
Terlihat bahwa IMF merupakan sebuah
organisasi multilateral yang sengaja dibentuk untuk menjaga stabilitas moneter
dan perdagangan dunia melalui penyediaan paket-paket bantuan lunak kepada
negara-negara yang sedang mengalami krisis neraca pembayaran pada tingkat yang
dapat membahayakan perekonomian regional dan global. IMF memusatkan diri pada
tiga macam kegiatan, yaitu:
1. Surveillance (monitoring): suatu proses
dimana IMF melakukan penilaian secara reguler terhadap kinerja dan kerangka
kebijakan nilai tukar mata uang masing-masing anggotanya yang hasilnya
diterbitkan dua kali setahun di dalam World Economic Outlook.
2. Financial Assistance (bantuan keuangan):
pemberian kredit lunak (bunga sangat rendah dan jangka waktu pengembalian
sangat panjang) kepada negara-negara yang mengalami krisis keuangan dengan
syarat-syarat tertentu.
3. Technical Assistance (bantuan teknis):
penyediaan tenaga ahli dan pelbagai dukungan lainnya bagi negara-negara yang
melakukan pembenahan kebijakan moneter dan fiskal, pengumpulan data statistik,
pengembangan lembaga keuangan, penyempurnaan auditing neraca pembayaran, dan
lain-lain.
Sebelum membantu negara-negara yang terkena
krisis, sesuai dengan isi dari Konsensus Washington, IMF menyarankan
negara-negara tersebut mengimplementasikan 10 elemen sebagai berikut:
(1) disiplin fiskal;
(2) prioritas pengeluaran publik;
(3) reformasi pemungutan pajak;
(4) liberalisasi finansial;
(5) kebijakan luar negeri yang mendorong
persaingan;
(6) liberalisasi perdagangan;
(7) mendorong kompetisi antara perusahaan
asing dan domestik untuk menciptakan efisiensi;
(8) mendorong privatisasi;
(9) mendorong iklim deregulasi;
(10) pemerintah melindungi hak kekayaan
intelektual.
Jika dipersingkat dari 10 elemen di
atas adalah, liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi. Dan ketiga syarat
tersebut harus dilakukkan bagi negara yang ingin dibantu oleh IMF. Nama
programnya adalah Structural Adjustment Program (SAP)
Namun apa yang resep yang sebutkan di
atas menurut Joseph Stiglitz, hanya akan berhasil atas sejumlah persyaratan.
Kalau tidak hanya akan menambah beban negara. Contohnya, liberalisasi pasar
hanya akan memarginalklan kelompok-kelompok petani di negara miskin yang tidak
mampu bersaing secara sehat dengan negara-negara maju. Stiglitz menambahkan
bahwa IMF tidak merencanakan program bantuannya dengan tidak lebih dulu
meneliti secara spesifik negara yang akan dibantu. Hal ini diperkuat oleh
Jeffrey Sachs yang mengatakan kalau IMF tidak meramu strategi yang pas untuk
masing-masing negara karena memukul rata model krisis dari negara-negara
tersebut. Mantan PM Malaysia Anwar Ibrahim menambahkan kalau IMF hanya memberi
khutbah dan menekan negara yang menerima bantuannya.
3.3 Pembelakuan
Syarat dan Kebijakan IMF terhadap Indonesia
Ketika Indonesia ditimpa krisis, IMF
menyarankan untuk menaikkan tingkat suku bunga hingga 70% yang katanya untuk
mencegah pelarian modal ke luar negeri. Resep IMF untuk menaikkan suku bunga
tinggi ini memang berhasil meredam inflasi, tetapi untuk tidak dapat
menyehatkan secara keseluruhan, malah kebijakan ini membuat sektor riil semakin
tertekan. Pada saat Indonesia ingin mengambil inisiatif dengan CBS (Currency
Board System) atau kebijakan kurs tetap, secara politik IMF
menghalang-halanginya dengan menganncam akan memblokir bantuan dan mengajak
seluruh anggota IMF untuk memboikot Indonesia jika menerapkan sistem tersebut.
Mengapa IMF menyarankan Indonesia untuk memberlakukan SBI yang tinggi hingga
70% per tahun? Padahal Amerika juga sedang terkena krisis setelah WTC
dihancurkan oleh teroris, tetapi Amerika tidak menaikan suku bunganya.
Dari sisi ekonomi politik, resep yang
paling berbahaya bagi stabilitas ekonomi dan politik adalah pengetatan fiskal
dan pengurangan anggaran. Pada saat krisis, dimana daya beli masyarakat turun
drastis, IMF malah menganjurkan pengurangan subsisdi BBM dan TDL. Dalam sudut
pandang ekonomi murni hal ini dapat dibenarkan, tetapi tidak dalam sudut
pandang ekonomi politik. Hal ini karena waktu pengimplementasiannya kurang
tepat, mana mungkin masyarakat yang daya belinya sedang turun dan seharusnya di
bantu oleh subsidi dari pemerintah malah dicabut. Penarikan subsidi terbukti
membuat kerusuhan dan masyarakat marah sehingga pada pertengahan 1998 terjadi
kerusuhan besar di Indonesia terutama Jakarta.
Selain deregulasi dan liberalisasi,
IMF juga menyarankan Indonesia agar melakukan privatisasi. Tetapi privatisasi
yang diterapkan di Indonesia atas dorongan IMF malah membuat
perusahaan-perusahaan milik pemerintah dikuasai oleh orang-orang asing karena
daya belinya yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang Indonesia.
Hal ini semakin membuat Indonesia dicabik-cabik oleh IMF
IMF
juga menyarankan beberapa kebijakan diantaranya:
a. melikuidasi 16 bank,
b. mencabut larangan ekspor kayu
gelondongan tahun pada 1998,
c. menurunkan bea masuk gula dan beras
turun sampai nol persen,
d. mengurangi subsidi listrik dan BBM.
Syarat-syarat
tersebut dijalankan pada saat kondisi masyarakat belum pulih dari krisis
ekonomi. Sehingga bukannya perekonomian yang membaik, justru banyak merugikan
rakyat karena sosial cost yang dikeluarkan besar sekali. Misalnya akibat
penutupan bank-bank tersebut memudarkan kepercayaan masyarakat pada bank.
Masyarakat menarik dana besar-besaran dari bank lainnya yang tidak dilikuidasi.
Akibat likuidasi uang menjadi langka, bunga melejit, masyarakat kelaparan.
Tidak kurang dari Rp 660 triliun harus dikeluarkan pemerintah untuk
mengembalikan kepercayaan masyarakat pada perbankan nasional. IMF tentu saja
bertanggung jawab atas sejumlah kekerasan struktural yang memancing kekerasan
konvensional di Indonesia.
Modernisasi
memerlukan waktu panjang. Berbagai kebijakan IMF yang diterapkan di Indonesia
dalam kondisi masyarakat yang tidak siap, akhirnya menyebabkan gejolak sosial
dan politik. IMF dan pemerintah Indonesia sudah menyalahi ciri pokok
modernisasi dan sekaligus membuktikan kekurangan dalam teori modernisasi
menurut Rostow yaitu modernisasi yang dipaksa mengalami percepatan.
IMF
sendiri merupakan perpanjangan tangan kepentingan Amerika yang bisa mengontrol
keputusan di IMF melalui hak votingnya, sesuai dengan besarnya hak suara yang
dimiliki yakni 17, 81%. Angka tersebut cukup memberinya hak untuk memveto
kebijakan IMF. Selain AS, tidak ada negara yang mempunyai lebih dari 6% suara
dan mayoritas negara anggota mempunyai kurang dari 1%.
Intervensi
IMF pada kebijakan-kebijakan Indonesia, jelas merupakan praktik teori modernisasi.
Ideologi teori modernisasi digunakan untuk memberikan legitimasi intervensi
Amerika Serikat terhadap kepentingan negara Dunia Ketiga. Unsur dominasi asing
di Indonesia secara ekonomi dan politis ini merupakan bentuk kolonialisme
negara Barat pada negara dunia ketiga.
3.4 Kegagalan
IMF
Kegagalan IMF dalam membantu
negara-negara yang terkena krisis sebenarnya sudah dapat dianalisis oleh Paul
Krugman sejak tahun 1994. Krugman sudah memperingatkan bahwa ada dua
keterbatasan IMF untuk dimintai pertolongan, yaitu keterbatasan modal dana dan
keterbatasan modal politik. Keterbatasan dana terbukti pada tahun 1998, di mana
untuk membanyu Brazil, Argentina, dan Rusia, IMF hanya mampu membantu antara
$350 hingga $400 tiap 3-4 bulan. Selama kontrak 5 tahun untuk membanytu krisis
Indonesia, IMF hanya membantu sekitar $5 miliar, sangat jauh dari kebutuhan.
Sedangkan keterbatasan politik juga dapat dilihat dari tingkah IMF untuk
menekan Indonesia. LOI (letters of Intent) merupakan salah satu produk politik
IMF dalam menekan Indonesia. Hal ini karena IMF jauh lebih mengutamakan
kepentingan negara kreditor, daripada “kesehatan” negara-negara yang sedang
diobati/mengalami krisis.
Kegagalan IMF dalam membantu Indonesia
adalah akibat dari ketidakmatangan IMF dalam mengatur program-program yang
cocok untuk Indonesia. Mereka hanya mementingkan liberalisasi pasar,
deregulasi, dan privatisasi di Indonesia untuk kepentingan perekonomian
internasional. Padahal secara pendekatan ekonomi politik tidak akan mungkin
dapat merubah sistem perekonomia suatu negara menjadi negara berbasis pasar
dalam waktu “sekejap malam”. Hal ini ditambah buruk dengan tidak ada
transparasi dari pemerintah Indonesia . ketidakjelasan langkah-langkah IMF
menmbuat para pengusaha berspekulasi untuk menarik kesimpulan sendiri-sendiri
yang mengakibatkan hancurnya nilai mata uang rupiah. Di lain pihak pemerintah
Indonesia juga tidak serius dalam penanganan krisis ini karena tidak
menjalankan agenda-agenda perubahan yang sudah disepakati oleh RI.
KESIMPULAN DAN SARAN
· Kesimpulan
Kesimpulan yang diambil oleh penulis adalah
1.
Penyebab terjadi
krisis terhadap sebuah Negara ada 3 pedekatan yaitu pendekatan
Generasi Pertama, pendekatan Generasi Kedua, dan pendekatan Generasi Ketiga.
2.
Munurut Bob Sugeng Hadiwinata di dalam bukunya
mengutip dari pendapat para pakar ekonomi mengidentifikasi ada 3 hal yang
menyebabkan krisis ekonomi, yakni :
a. Fenomena
Productivity Gap (Kesenjangan Produkitivitas).
b. Fenomena Disequilibrium Trap (Jebakan
Ketidakseimbangan)
c. Fenomena Loan
Addiction (Ketergantungan Kepada Hutang Luar Negeri)
3.
Tujuan utama IMF adalah untuk memperbaiki
keadaan sesegera mungkin untuk menciptakan stabilitas moneter dunia.
4.
liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi. Itu
yang harus dilakukkan bagi negara yang ingin dibantu oleh IMF. Nama programnya
adalah Structural Adjustment Program (SAP).
5.
IMF memusatkan diri pada tiga macam kegiatan,
yaitu:
a. Surveillance
(monitoring)
b. Financial
Assistance (bantuan keuangan)
c. Technical
Assistance (bantuan teknis)
6.
Kegagalan IMF
sudah dapat di prediksi oleh Paul Krugman pada tahun 1954. Ada 2 penyebabnya,
yaitu : keterbatasan
modal dana dan keterbatasan modal politik
7.
Kegagalan IMF dalam membantu Indonesia adalah
akibat dari ketidakmatangan IMF dalam mengatur program-program yang cocok untuk
Indonesia. Mereka hanya mementingkan liberalisasi pasar, deregulasi, dan
privatisasi di Indonesia untuk kepentingan perekonomian internasional.
· Saran
Saran yang diberi
oleh penulis adalah
1. IMF harus mningkatan pemodalan dari segi dana
dan politik. Mungkin dengan meningkatakan kerjasama dengan Negara-negara sesama
adikuasa akan meningkatkan hal tersebut.
2. Dari segi Negara yang menerima bantuan juga
harus cepat membenah diri agar dapat terhindar dari krisis lebih cepat
dikarenakan takut terjadinya ketergantungan atas pinjamana dari IMF.
3. Lebih dapat mengatur kebijakan yang lebih
sesuai dengan suatu keadaan Negara sehingga program yang di canangkan akan
dapat berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA